Ghea dan Puspa Membelai Permukaan Bumi - Ghea sakit. “Oh Tuhan apa yang harus kulakukan kini!”, bisik Antoni mengusir kerinduannya yang tiba-tiba datang menyergap. “Haruskah aku menebalkan muka, datang menjengukmu Ghea?” kata hatinya ragu melihat ghea dan puspa membelai permukaan bumi. “Oke, Antoni aku pulang dulu!”. O, ya kalau kamu kerumah Ghea, tolong sampaikan salamku!?”.
Puspa yang lebih dulu sadar dari lamunannya memecahkan keheningan diantara mereka. “Insya Allah!”, “akan kusampaikan nanti”, ucap Antoni seraya berdiri, digenggamnya lembut jemari tangan Puspa. “Terima kasih atas perhatianmu, semoga kami bisa untuk membalasnya, Puspa!”. Sesaat dua pasang mata beradu dan teras ada api haru yang memaksa keduanya untuk sama-sama menundukkan wajah ghea dan puspa membelai permukaan bumi. Inikah mesranya persahabatan yang putih itu? Kata hatipun menggetar syahdu.
Banjarmasin, dimalam hari ketika rinai hujan turun membelai permukaan bumi yang retak gersang. Jalan-jalan utama di kota ini selalu ramai dengan para pejalan kaki dan tak pernah sepi dari tangan-tangan tengadah mengharapkan belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang ghea dan puspa membelai permukaan bumi. Seputar jalan Pangeran Samudera, nampak kesibukan manusia mencari sumber informasi terbaru. Kendaraan roda empat dari berbagai merk menambah hangatnya malam meskipun terkadang deru suara motornya terasa mengganggu telinga ghea dan puspa membelai permukaan bumi.
Di tengah suasana rinai hujan dan dingin angin malam, diantara sekian para pejalan kaki Antoni melangkah pasti menuju satu arah; kerumah Ghea, ya Ghea yang tengah terbaring sakit dikamarnya yang berwarna merah muda.
“Ghea makanlah nak, sedikit saja?”, suara lembut sang ibu terdengar penuh kasih. “Ayolah nak !”, “Ibu jadi sedih kalau begini terus keadaanmu”. Ghea masih membisu, wajahnya nampak pucat pasi, cahaya matanya pun seperti tak membiaskan semangat untuk hidup lagi ghea dan puspa membelai permukaan bumi. O, adalah cara orang memandang cinta yang membuat manusia selalu dilingkari susah, sedih, bahagia, dan derita. Dan selalu cinta yang dijadikan semacam kambing hitam.
Padahal cinta berbeda dengan kesenangan, berbeda dengan harta benda, nama baik, martabat dan lain sebagainya yang terkadang malah membuat seorang manusia menjadi kaku, tak punya perasaan, tak punya harga dir, miskin dari kasih sayang terhadap sesama ghea dan puspa membelai permukaan bumi.
Puspa yang lebih dulu sadar dari lamunannya memecahkan keheningan diantara mereka. “Insya Allah!”, “akan kusampaikan nanti”, ucap Antoni seraya berdiri, digenggamnya lembut jemari tangan Puspa. “Terima kasih atas perhatianmu, semoga kami bisa untuk membalasnya, Puspa!”. Sesaat dua pasang mata beradu dan teras ada api haru yang memaksa keduanya untuk sama-sama menundukkan wajah ghea dan puspa membelai permukaan bumi. Inikah mesranya persahabatan yang putih itu? Kata hatipun menggetar syahdu.
Banjarmasin, dimalam hari ketika rinai hujan turun membelai permukaan bumi yang retak gersang. Jalan-jalan utama di kota ini selalu ramai dengan para pejalan kaki dan tak pernah sepi dari tangan-tangan tengadah mengharapkan belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang ghea dan puspa membelai permukaan bumi. Seputar jalan Pangeran Samudera, nampak kesibukan manusia mencari sumber informasi terbaru. Kendaraan roda empat dari berbagai merk menambah hangatnya malam meskipun terkadang deru suara motornya terasa mengganggu telinga ghea dan puspa membelai permukaan bumi.
Di tengah suasana rinai hujan dan dingin angin malam, diantara sekian para pejalan kaki Antoni melangkah pasti menuju satu arah; kerumah Ghea, ya Ghea yang tengah terbaring sakit dikamarnya yang berwarna merah muda.
“Ghea makanlah nak, sedikit saja?”, suara lembut sang ibu terdengar penuh kasih. “Ayolah nak !”, “Ibu jadi sedih kalau begini terus keadaanmu”. Ghea masih membisu, wajahnya nampak pucat pasi, cahaya matanya pun seperti tak membiaskan semangat untuk hidup lagi ghea dan puspa membelai permukaan bumi. O, adalah cara orang memandang cinta yang membuat manusia selalu dilingkari susah, sedih, bahagia, dan derita. Dan selalu cinta yang dijadikan semacam kambing hitam.
Padahal cinta berbeda dengan kesenangan, berbeda dengan harta benda, nama baik, martabat dan lain sebagainya yang terkadang malah membuat seorang manusia menjadi kaku, tak punya perasaan, tak punya harga dir, miskin dari kasih sayang terhadap sesama ghea dan puspa membelai permukaan bumi.
0 komentar:
Posting Komentar